.

Monday, September 9, 2019

SETTING MINIATUR MASYARAKAT MADANI


Dalam "Workshop Jurnalistik Islami sebagai Media Dakwah dan Pendidikan" (2008) di Temboro, Haikal Hira Habibillah (mantan Ketua
Forum Lingkar Pena Jawa Timur) dengan semangat memotivasi, teman-teman aktivis penulis Temboro sebenarnya punya modal suasana masyarakat islami untuk membikin karya sastra Masyarakat Madani. Karya sastra Masyarakat Madani, dalam bahasa saya, adalah karya yang menjunjung tinggi sendi-sendi Islam; yakni imaniah, ibadah, muamalah, muasyarah, dan akhlak dengan menghidupkan kembali ruh dakwah, ta'lim wa ta'lum, dzikir ibadah, dan khidmat Masyarakat Madinah pada zaman Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa salam.
Salah satu "laboratorium" utama Masyarakat Madani adalah pesantren. Maka, tidaklah heran, kaum pluralissekuleris-liberalis terus mengobok-obok "jeroan". pesantren, salah satu caranya dengan membuat karyakarya yang bertendensi mempluralkan, mensekulerkan, dan meliberalkan pesantren. Jelas, mereka pun ingin menjadikan pesantren sebagai "kelinci percobaan" masyarakat yang pluralis, liberalis, dan sekuleris. Yang mengherankan, karya-karya tersebut disadari atau tidak malah dilahirkan, dibidani, dibesarkan, atau diasuh kaum
Berlatar belakang santri tulen yang "ngelotok" muthalaah kitab kuningnya. Bukan jebolan sanlat (pesantren kilat) seperti saya yang "rontok" menelaah "kitab putih" alias buku umum. Namun demikian, tentu masih lebih banyak karya yang mempunyai spirit atau motivasi mempertahankan pesantren sebagai salah satu "laboratorium" masyarakat madani. Kebetulan dalam karya-karya tersebut terdapat setting pesantren dan tokoh santri sebagai protagonis (tokoh utama)-nya. Cerpen Surat dari Pondok untuk The Color Rock Back dalam kumpulan Cerpen Masih Cuma Bisa di Republik Mimpi karya Boim Lebon, seorang tokoh santri lewat suratnya menceritakan kehidupannya di Pondok Pesantren Al-Fatah Temboro kepada teman-teman gank-nya semasa SMA di Tangerang. "Heroes: Pahlawan dari Jatinongol" karya Syukur A. Mirhan dan El Nafisa sebetulnya novel serial yang tokoh utamanya (akhirnya) berangkat ke Jawa Timur untuk mondok di Pondok Pesantren Al-Fatah Temboro, meski secara samar penulis novel tersebut menyebutnya Pondok Pesantren Darussalam Timur Gunung Lawu. Teman-teman tokoh Ujang dalam Heroes yang bertemu di sebuah masjid di Bandung berasal dari pondok pesantren
yang sama dengan tokoh Aji dalam Surat dari Pondok untuk The Color Rock Back. Dalam Novelet Linang Cinta Madinah
Van Java, bahkan "terang-terangan" Syukur A. Mirhan dan El Nafisa mengambil latar Temboro dengan menyebut nama Temboro, bukan lagi Kampung Timur Gunung Lawu seperti pada karya-karya fiksi mereka sebelumnya. Mengapa penulis tiga buku fiksi tersebut tertarik mengambil Temboro sebagai setting karya fiksinya? Temboro baik sebagai setting realitas masyarakat Islami atau sebagai setting imajinasi fiksi Islami sangat menarik menjadi sampel setting miniatur Masyarakat Madani, bukan Masyarakat Madani yang "masih diskusikan" atau "masih diopinikan" dalam wacana-wacana. Meskipun secara arif, mereka pun menghormati, saudara-saudara mereka tentu saja mempunyai persepsi berbeda tentang Masyarakat Madani. Maka, Masyarakat Madani dalam karya sastra yang dicitacitakan masing-masing tentu saja format dan hakikatnya berbeda pula.
Masyarakat Madani yang dicitacitakan pluralis-sekuleris-liberalis tentu saja berbeda dengan Masyarakat Madani yang dicita-citakan aktivis dakwah yang tidak silau dengan "lipstik" universalisme, karena ia punya keyakinan terhadap: Rasulullah dikirim ke dunia sebagai rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam) dan tidak minder mengadopsi nilai-nilai universal Barat yang jelas-jelas meracuni nilai-nilai Islam. Wallahu'alam.

No comments:

Post a Comment

About

authorAssalamualaikum, nama saya Syukur A. Mirhan. Sekarang ini saya tinggal di Temboro, tautan sosial media di bawah ini.
Learn More →



QUOTES

“Pada akhirnya Cinta, Bukan kata Adalah” ― Syukur A. Mirhan