TAKZIAH NENEK REMBULAN, 2
“Mengapa Mbah Buyut Langit menjerit tadi malam?”
Tanya komet yang tak ketahuan menguntit ikut
takziah ke rumah duka, di reranting trembesi tua.
Mata Langit mendelik, kaget, tapi sedetik saja
Lalu matanya kembali sendu. Mulutnya membisu
Jiwanya dirundung duka dahsyat dan hebat. Semesta
Seperti hendak kiamat
“Apa yang terjadi dengan nenek rembulan,
Mbah Buyut Langit?” Tanya meteor yang ujug-ujug
Mengekor.
Langit lekat-lekat menatap komet dan meteor
“Kemarin malam, Buyut usir
Nenek Rembulan dari peredaran…”
Kata-kata langit tersekat
Di tenggorokannya.
“Emangnya kenapa, Mbah Buyut?”
Tanya komet dan meteor berbarengan.
“Buyut menyesal…” kembali kata-kata langit
Tersekat di tenggorokannya.
“Menyesal gimana, Mbah Buyut?”
Komet dan meteor mendesak sopan.
“Kemarin lusa Nenek Rembulan minta izin,
Mohon satu malam saja membalas rindu si Pungguk.
Tentu Buyut muntab. Meski hanya semalam,
Buyut takkan setuju, hati Nenek Rembulan
Tergoda si Pungguk yang berabad-abad
Menantikannya tak tahu malu.
“Terus gimana, Buyut?” Komet dan Meteor karuan
Penasaran, telinga keduanya melebar ke bawah
Dan menjulang ke atas.
“Nenek Rembulan terus memaksa. Kali ini dia tak mau
Mendengar titah Buyut. Buyut tambah muntab.
‘Cukup sekali saja kamu boleh balas rindu si Pungguk.
Setelah itu, jangan sekali-kali
Kamu kembali kepadaku!’”
Kata-kata Langit bukan hanya tersekat
Di tenggorokannya, tapi mengait dan
Menusuk tenggorokannya, seperti duri
Ikan gembung mengait dan menusuk
Tenggorokan Mbah Supingah, tetanggaku
Yang hidup sebatangkara, tiga hari lalu…
Magetan, 2012