.

Wednesday, March 30, 2016

9:09 PM

TAKZIAH NENEK REMBULAN, 2










TAKZIAH NENEK REMBULAN, 2


“Mengapa Mbah Buyut Langit menjerit tadi malam?”

Tanya komet yang tak ketahuan menguntit ikut 

takziah ke rumah duka, di reranting trembesi tua.



Mata Langit mendelik, kaget, tapi sedetik saja

Lalu matanya kembali sendu. Mulutnya membisu

Jiwanya dirundung duka dahsyat dan hebat. Semesta

Seperti hendak kiamat



“Apa yang terjadi dengan nenek rembulan, 

Mbah Buyut Langit?” Tanya meteor yang ujug-ujug

Mengekor.



Langit lekat-lekat menatap komet dan meteor

“Kemarin malam, Buyut  usir

Nenek Rembulan dari peredaran…” 

Kata-kata langit tersekat

Di tenggorokannya. 



“Emangnya kenapa, Mbah Buyut?”

Tanya komet dan meteor berbarengan.



“Buyut menyesal…” kembali kata-kata langit 

Tersekat di tenggorokannya.



“Menyesal gimana, Mbah Buyut?”

Komet dan meteor mendesak sopan.



“Kemarin lusa Nenek Rembulan minta izin,

Mohon satu malam saja membalas rindu si Pungguk.

Tentu Buyut muntab. Meski hanya semalam,

Buyut takkan setuju, hati Nenek Rembulan 

Tergoda si Pungguk yang berabad-abad 

Menantikannya tak tahu malu.



“Terus gimana, Buyut?” Komet dan Meteor karuan 

Penasaran, telinga keduanya melebar ke bawah 

Dan menjulang ke atas.



“Nenek Rembulan terus memaksa. Kali ini dia tak mau 

Mendengar titah Buyut. Buyut tambah muntab. 

‘Cukup sekali saja kamu boleh balas rindu si Pungguk. 

Setelah itu, jangan sekali-kali 

Kamu kembali kepadaku!’”



Kata-kata Langit bukan hanya tersekat 

Di tenggorokannya, tapi mengait dan

Menusuk tenggorokannya, seperti duri 

Ikan gembung mengait dan menusuk

Tenggorokan Mbah Supingah, tetanggaku

Yang hidup sebatangkara, tiga hari lalu…



Magetan, 2012
9:07 PM

TAKZIAH NENEK REMBULAN, 1



Di reranting trembesi tua. Nenek rembulan 

Tutup usia. Dalam pangkuan dan pelukan 

Si Pungguk bungkuk yang berabad-abad

Memikul cinta pertama yang tak kenal tutup mata



Jenazahnya dimandikan bebulir embun. Dikafani 

Guguran daun. Dishalatkan semilir angin. Ditahlilkan

Sendiri si Pungguk bungkuk yang berabad-abad

Memanjatkan doa setia yang tak pernah purba



Matahari dan bumi takziah. Matahari menunduk,

Sinarnya redup. Bumi berjilbab semuhitam,

Matanya sembab. Keduanya menerawang angkasa

Terkenang masa-masa kecil yang indah nian

Dolanan bersama nenek rembulan



Langit menjerit. Suaranya merobek jantungnya

Kakinya bergetar. Tiangnya bergoyang. Para planet

Berlarian ke balik peraduan. Satelit-satelit manusia, 

Terutama buatan USA, Rusia, Jerman, Prancis, dan China 

Belingsatan dari peredaran. Bima sakti pun sepi



Setelah dukanya agak reda, langit mengusap airmata

Diambilnya jubah, kerudung, dan kacamata hitamnya

Diiringi pelangi yang bajunya memasi, langit tiba 

Di rumah duka, reranting trembesi tua



Tetangga trembesi tua; waru, jati, mangga, dan palem 

Menggelar daun-daunnya untuk tikar selamatan. Langit 

Halus menolak, sungkan duduk. Langit tak enak hati 

Kepada pohonan yang rukun, santun, dan rendah hati 



Disuruhnya atmosfer menelungkupkan tubuhnya 

Untuk dijadikan permadani bagi para pelayat,

Pentahlil, dan penderes ayat-ayat. Ditatapnya haru 

Kaum burung dan serangga tadarusan 

Sepanjang siang dan malam



Diam-diam relung relung kalbunya 

Pun wiridan



Magetan, 2012










Friday, March 18, 2016

6:16 PM

PEREMPUAN BERKALUNG SARUNG

Ufuk bersemburat merah. Petang tinggal beberapa menit menyerahkan tongkat hari ke tangan maghrib. Sepasang kelelawar bergandeng terbang ke arah Ngawi, ikhtiar mencari buah-buahan. Budi, Jono, dan Joko bersila di serambi Masjid Daarut Taqwa, menyempurnakan humor senja sambil menanti waktu berbuka puasa.
“Jon, Jok, kalian tahu nggak, sebulan yang lalu paklikku dipanggil gubernur lho, hebat kan!” kata Budi, ujung pesek hidungnya menggelembung merah.
 “Itu sih biasa, Bud. Minggu kemarin bapakku dipanggil Presiden!” Seperti adatnya, Jono tak mau kalah.
Seraya mesem, Joko berkata kalem, “Itu tidak ada apa-apanya, Jon. Kemarin lusa kakekku dipanggil Allah!”
Skack match! Jono dan Budi KO (kalah omong). Senyum Joko ranum. Mulut Jono dan Budi kecut. Namun cuma sesaat, keduanya sama ceria ketika terdengar dugh! dugh! dugh! suara beduk maghrib.
Allahu Akbar! Allaaahu Akbar! Suara serak-serak adzan Poniran mengepilogi episode lapar dan dahaga, menandai dua kebahagiaan orang berpuasa; kebahagiaan berbuka dan kebahagiaan (kelak) berjumpa dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Poniran, yang ibadahnya serabutan seperti profesinya, diangkat menjadi pejabat sementara muadzin Masjid Daarut Taqwa menggantikan Mbah Tukimin yang cidera berat tertimpa buntut pesawat Herkules TNI AU yang nyelonong landing di pinggir Desa Geplak.
Budi memandang sinis Poniran. “Kenapa sih Paklik Poniran gak pernah punya pekerjaan tetap? Jadi kuli bangunan bosen, jadi blantik sapi gagal total, jadi tukang bambu nyaris dijebloskan ke rutan, dan terakhir, tega-teganya, child traffic…”
“Husss! Yang terakhir sih cuma akting aja, biar Juragan Bagiyo gak enak-enakan ngerasain rejeki sendiri. Sebagai tetangga melarat, sebenarnya Paklik berhak merasakan kekayaan. Nggak cuma ngerasain kepulan debu yang disemburkan knalpot puluhan truk tebu Juragan Bagiyo yang saban hari nyelonong nabrak pagar halaman rumah Paklik.”
“Kok caranya sampek akting jualan anak segala, Lik?” tanya Joko.
“Iya, Lik, apa gak ada siasat lain?” imbuh Joko, “misalnya, Paklik pura-pura sakit parah, terus sambil bawa si Gandul, Lik Ponirah nangis-nagis minta tolong sama Juragan Bagiyo.”
Poniran tersenyum. “Katanya, macem-macem cara atau segala pura-pura udah dibuat orang biar Juragan Bagiyo terenyuh dan nggelosorkan duit dari kantongnya, tapi gak mempan. Juragan Bagiyo itu kebal tipu muslihat.”
“Kok bisa gitu, Lik?”
“Sebab beliau hapal di luar kepala ilmu dan praktek tipu muslihat.”
“Ooo…”
“Assalamu’alaikum…"
Baru saja Poniran, Budi, Jono, dan Joko selesai mengucapkan doa buka puasa dan ngemot sebiji kurma, seorang gadis bergaya Izzatul Jannah, Ketua Umum FLP Pusat 2009-2014, berjalan santun menuju serambi mushola.
“Dari si Mbah, Mang, eh, Lik!” ucap gadis berlogat Sunda itu. Cukup singkat, namun memikat, menarik penasaran sarat. Seraya merunduk, si gadis bergaun muslimah itu menyodoran serantang kolek pisang kepada Poniran.
Seperti kesasar ke dalam 1001 cerita cinta, degdegan dada Budi, Jono, dan Joko merasakan aura turunnya bidadari yang tak terlintas dalam otak dan tak terbetik dalam hati.
“Pasti dia Nurul yang patah hati oleh Fahri. Balik dari Mesir, pulang ke tanah air untuk mengobati luka hati!” kreteg hati Budi.
“Sungguh dialah A Ling, gadis Tiongkok yang terjerat cinta monyet si Ikal?” imajinasi Jono ngelantur.
“Seandainya bidadari sejati, pasti dia tak mau mandi di kali, biar tidak bisa diintip Jaka Tarub, apalagi dicuri bajunya!” lamunan Joko melayap ke kisah silam.
“Istighfar! Istighfar! Istighfar! Kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya lupa mengunyah kurma!” guyon Poniran membuyarkan gemintang khayalan Budi, Jono, dan Joko.
Budi, Jono, dan Joko kompak tersipu malu, ranting hati tiga sekawan ini terkait pesona akhwat yang berbusana ala Asma Nadia di majalah Annida.
Kuatir terdengar kedua karib kentalnya, lirih-lirih Budi bertanya kepada Poniran yang kebetulan dekat di sampingnya, “Lik, siapa cewek barusan?”
Poniran mesem, malah balik bertanya, “Cewek yang mana?”
Budi gemas, pelan-pelan berbisik, “Cewek yang ngasih kolek pisang.”
“O diaaa…” kata Poniran, nadanya tinggi.
Karuan saja suara Poniran mengundang penasaran Jono dan Joko, mata kedua si Budi itu berkedip-kedipan.
“Sttt… jangan keras-keras, Lik!” cegah Budi, “Heup!” Budi ngaplok mulutnya sendiri.
So pasti, bikin tambah penasaran Jono dan Joko, keduanya berbalas mulut monyong.
“Jangan egois, Bud!” omong Poniran, “informasi tuh gak boleh dimonopoli. Informasi tuh hak milik publik. Biarlah publik transparan mengonsumsinya. Ini bukan jaman bagi-bagi beras, tapi jaman bagi-bagi kompor gas!” Tak terduga, omongan Poniran nyasar, menohok ulu malu Budi.
Secepat otak Newton, Budi memutar akal. “Jadi, malam takbiran nanti anak-anak RT 02 mau pawai obor, Lik?” bilangnya mengalihkan tema tipuan.
Jono dan Joko menutup mulut, melindungi tawa geli di balik jemari. Hihihi…
“Gini aja,” Poniran lekat-lekat meneliti gurat muka Budi, Jono, dan Joko, “daripada kowek-kowek iki nanya perindividu, dan Paklik harus berkali-kali jawabnya, tidak efektif dan efesien. Mending nanya secara kolektif, gimana?”
Muka Budi merah jambu busuk, seperti cowok yang menerima kembali surat cintanya sendiri tanpa dibaca cewek yang ditaksirnya. Sementara ekspresi Iwan dan Ucup tak luput klamas-klemes seperti nasi rames kesiram es.
“Nanya apa, Lik?” Iwan kura-kura pergi tamasya, pura-pura tak ngerti tanya.
“Iya, Lik?” susul Joko, seolah-olah tak tahu duduk perkara, tapi ngerti berdiri perkara.
“Ada udang di balik batu, keliru pandang kejedot pintu!” Gurindam Poniran, bikin tiga sekawan gregetan.
Qatqamatishalah…Qatqamatishalaaah…! Sebelum Poniran mengangkat mulut, si Midun nyelonong iqamat. Haji Mujaer, imam Masjid Daarut Taqwa sudah datang. Budi, Jono, dan Joko terpaksa menelan penasaran ke dalam relung hati mereka yang berdesir disemilir perasaan asing dan aneh. Shalat maghrib tak khusyuk, ingat gadis pembawa serantang kolek. Kesan pertama membuat gemega langit negeri Syaikh Mageti bak semarak bebunga di taman cakrawala.
Ba’da taraweh, masih di sudut kiri serambi Masjid Daarut Taqwa. Bagai murid di depan resi, Budi, Jono, dan Joko menunduk khusyuk di hadapan Poniran. Jeroan dada ketiganya serseran hebat menanti info penting yang mengalir dari pria pecandu rokok Ting Wek atau linting dewek itu. Sepatah kata tentang gadis yang tiba-tiba menghiasi detik-detik buka puasa bersama hari ke-17 tadi itu menjadi lebih penting daripada BLT alias bantuan langsung tunai.
“Namanya Maryamah…” ucap Poniran serak-serak lirih.
“Maryamah…” gumam Budi, Jono, dan Joko berbarengan.
“TK-nya di Maospati. Waktu SD Dibawa orang tuanya merantau ke Tangerang. SMP-nya disekolahkan Pakdik-nya di Sukabumi. Melanjutkan SMA sambil kerja di Cianjur. Terus masuk SMKI Bandung. Lantas ngelanjutin ke UPI Bandung. Dan, kini bek to netur…”
Back to Nature?” koor Budi, Jono, dan Joko.
“Yes!”
“Kembali ke alam?”
“Bukan, balik ke Nenek Turmini hihihik...” Poniran sulit nyetop nyengir.
“Ooo..” Budi, Jono, dan Joko kompak berOoo…monyong.
“Gadis Jawa yang berkembang jadi mojang priangan itu pernah ke melanglang ke Asia Tenggara, Jepang, Korea, Tiongkok, Australia, dan pokokya ke mancanegaralah. Sayang dia gak kenal Asma Nadia, kalo kenal pasti diajak ngisi Jilbab Traveler!” kata Poniran, sembari  mengumbar asap apek rokok Ting Wek-nya.
“Ck! Ck! CK!” Budi, Jono, dan Joko kompak berdecak, kagum mendengar prestasi hebat gadis yang membuat mereka tak sabaran menanti lebaran tiba. Apa hubungannya, ya?
“Tahu, gak, gimana ceritanya dia bisa melancong ke berbagai negeri di belahan dunia?” pancing Poniran, karuan bikin Budi, Jono, dan Joko geleng-geleng bengong.
“Bermula dari suka kecapi!”
“Bermula dari suka kecapi?” tiga jejaka yang berjuluk Trio Jomblo tercengang.
“Aku aja suka apel, gak bisa ke luar negeri!?” seloroh Iwan.
“Apalagi ente, Din! Suka pete, mana mungkin bisa ke luar negeri!” sindir Ucup.
“Eh, jangan ngejek, Cup. Kakekku yang suka jengkol bukan cuma bisa ke Arab Saudi, juga bisa naik haji!”
“Husss! Bukan buah kecapi maksudnya, tapi musik kecapi!” tegas Poniran.
“Ooo…” kembali trio sekawan berOoo.
“Eh, tahu gak?” Poniran lekat-lekat serius menatap roman Trio Jomblo, “tiap malam, aku sering dengar Neng Maryamah memainkan musik kecapi, diiringi seruling,  nembang cianjuran, kadang diselingi nasyid Sunda Islami gubahannya sendiri. Sahdu sekali menyejukkan hati…” Poniran merem melek, mengelus-elus dadanya yang piano.
Usai mendengar kisah gadis Jawa bergaya Sunda --yang istiqamah tiap tahun menjuarai lomba deklmasi puisi “Aku” Chairil Anwar pada agustusan itu-- selera sahur si Budi menurun drastis, kecuali kalau makan nasi ketan ditaburi goreng bawang yang diaduk paha ayam. Sedangkan Jono tak mau keluar kamar, seharian cuma ngucek-ngucek kertas pink dan membuangnya sampai berceceran di lantai kamarnya, berbaur dengan rongsokan barang servis elektroniknya. Joko yang punya obsesi memperganteng muka tiap hari diinterogasi Mbak Yayuk gara-gara suka memporak-porandakan alat-alat kecantikannya.
“Seperti si Ikal yang pantang menyerah belajar biola kepada Maryamah Karpov, demikianlah aku pun tak akan menyerah belajar kecapi kepada Teh Maryamah!”  angan-angan Budi, cengar-cengir kepada cermin. Bagai detektif Betawi menyelinap lewat dapur, keluar rumah, meninggalkan Emaknya yang tertidur memeluk bantal dan remote TV di alas tikar.
“Jaga jarak! Jangan sampai siapapun dari Trio Jomblo itu curiga kita menguntit mereka. Tahan bersin, batuk, nguap, kentut, geli, tawa, dan lain-lain sebagainya! Siapkan musiknya!” komando Poniran kepada Bolo Kolong Beduk, julukan kepada si Dulloh, Hafid, Sarmin, Suudi, dan Tarom yang hobi tidur di bawah beduk Masjid Daarut Taqwa. Mereka suka bantu-bantu Poniran, bersih-bersih masjid. Kontras dengan Trio Jomblo yang memperlakukan Masjid Daarut Taqwa sebagai pangkalan ngorok sehabis nonton Liga Inggris, Liga Spanyol, atau Liga Italia.
Ba’da taraweh, 18 Ramadhan. Di serambi rumah panggung, seorang perempuan berkalung sarung, berbaju gombrang, berjilbab panjang duduk elok bak mojang priangan emok atawa duduk penuh etika. Di atas tikar sederhana, bukan permadani persia. Anggun dan santun. Duduk di belakang alat musik kecapi. Rembulan dan gemintang pun berseri, komunitas kodok toleransi, tak mau bikin orkestra kungkangkong.
Punten, Teh Maryamah, seperti si Ikal yang ingin belajar biola kepada Maryamah Karpov, demikianlah Mas Budi ingin belajar kecapi kepada Teh Maryamah…” Lutut Budi pegal, linu, dan gemetar duduk tawaruk di samping kanan punggung wanita berkalung sarung itu.
Sedamai mungkin perempuan berkalung sarung itu pelan berdiri. Kepala Budi merunduk, melirik pun tak sanggup. Tiga jerawat di pipinya merah matang, seperti siswa SMP kena virus cinta beruk.
“Mas Budi…” Lirih sejuk perempuan berkalung sarung itu menyebut nama Budi.
Seperti Majnun dihampiri Laila yang keluar dari kemahnya, seribu satu kebahagiaan Budi membuncah-buncah.
“Mas Budi…”
Jantung Budi bertalu-talu, pelan-pelan kepalanya mendongak, dan …
Plok! Plok! Plok!
Merah pedaslah pipi Budi, seperti ditampar Pendekar Kera Sakti.
“Mbah Turmini!?”
Plok!
Ngacirlah Budi.
Maryamah Kaplok!
Maryamah Kaplok!
Maryamah Kaplok!
 Dipimpin dirigen Poniran, berjingkrak-jingkrak semarak Bolo Kolong Beduk memainkan konser musik amburadul, mengiringi Budi yang mengambil langkah seribu membawa sejuta malu.
“Seuntai tembang Jawa gubahanku sendiri kan kuselipkan di dawai kecapi Teh Maryamah. Sejenak Teh Maryamah tertegun, menatap lembaran tembangku itu. Jemarinya gemetar membukanya. Berkaca-kaca membacanya. Mendekapnya di dada. Linang matanya berkilau disinari lentik pucuk nyala lampu taplok Mbah Turmini. Klimaksnya, dengan melodi tangis dan gerimis serta sepenuh perasaan ia melantunkan tembang tresnaku huhuhu…” khayal Jono. Menggulung secarik kertas, menyelipkannya ke sela-sela lipatan sarungnya, diam-diam pergi lewat jendela kamarnya, tak mau mengusik ngorok bapaknya yang kepalanya terbungkus Radar Madiun lawas.
Ba’da Taraweh, 19 Ramadhan. “Teh Maryamah, bila Teteh usai melantunkan tembang ini, letakkan kecapi itu di serambi rumah ini. Dengan dinding  dada bergetar hebat biarlah diam-diam Mas Jono selipkan secarik bait tembang tresna  gubahan Mas Jono sendiri…” Berjingkat di balik pagar serambi rumah Mbah Turmini, tangan kiri Jono membentang, tangan kanannya mendekap secarik kertas ke dadanya. Gayanya kolaborasi gaya biduan India, penyanyi dangdut Indonesia, dan pemain reog Ponorogo. 
Tak terdengar tingtengting denting kecapi. Sunyi. Namun gemuruh dada Jono lebih hingar bingar daripada konser musik heavymetal. Tangan kanan perempuan berkalung sarung melambai. Jono pelan-pelan namun elegan menghampirinya.
Plok! Plok! Plok!
“Mbah Turmini?”
Merah lebamlah wajah Iwan.
Plok!
Kaburlah Iwan.
Maryamah Kaplok!
Maryamah Kaplok!
Maryamah Kaplok!
 Semarak ria Bolo Kolong Beduk menari-nari mengikuti irama musik awut-awutan.
 “Alon-alon asal kelakon? No Way! Lebih cepat lebih baik! Jangan sampai si Budi dan si Jono keburu jadi kumbang dan terbang menggoda kembang Maryamah!” Sudah dua jam Joko berdandan model Ustadz Uje, tak kapok mencuri kaca hias Mbak Yayuk meski berkali-kali diinterogasi.
Ba’da taraweh, 20 Ramadhan. Joko menarik karet ban kunci pagar bambu halaman rumah Mbah Turmini. “Lebih cepat lebih baik!”
 Tetapi dahsyat, secepat kilat sandal jepit butut mengecup pipi Joko dengan kekuatan 170 km/jam. Akibatnya, Joko terhuyung lalu jatuh menimpa pagar bambu. Brak!
“Aaa… mpun… Mbah…Tur…mini!”
Plok!
Maryamah Kaplok!
Maryamah Kaplok!
Maryamah Kaplok!
Di atas gundukan pasir di depan rumah baru yang belum jadi milik Pak Yadi, Bolo Kolong Beduk berajojing lincah menggelar konser musik sembarangan.
 “Makanya, ente-ente harus kudu!” mukadimah Poniran, begitu personil Trio Jomblo lengkap berkumpul di serambi Masjid Daarut Taqwa, menanti buka puasa hari ke-21.
“Harus kudu?” tanya Budi, sengit.
Kudu piye?” Jono ikut-ikutan.
“He-eh, Lik?” Joko tak ketinggalan.
“Kudu ngaca!” tegas Poniran.
Dalam geram Budi, Jono, dan Joko menahan geli campur gengsi.
Poniran tersenyum enteng. “Mbah Turmini ajah gak mau naksir kowek-kowek, apalagi Teh Maryamah hehehe…!”
Mata Budi redup, muka Jono muram, mulut Joko kuncup.
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum salam…”
“Mas Ran, ini koleknya!”
Matur suhun, Mbak.” Poniran menerima rantang kolek dari Perempuan Berkalung Sarung.
Pareng.”
“Oya, Mbah...” sapa Poniran, sebelum Mbah Turmini balik kiri, “kok, gak Teh Maryamah yang nganterin tajil?” tanya Poniran iseng-iseng.
Perempuan yang istiqomah Berkalung Sarung itu sedikit melirik Budi, Jono, dan Joko. “Si Iyam takut nganterin tajil ke masjid...”
“Takut kenapa, Mbah?” Poniran justru penasaran.
“Takut ngurangi pahala puasanya... ”
“Ooo...” Poniran manggut-manggut, tak lupa nyengir.
Dugh! Dugh! Dugh! Beduk maghrib, waktu berbuka tiba. Budi, Jono, dan Joko cuma menelan sebutir kurma. Cinta bikin tak enak segalanya. Sejuta kecewa menelikung jiwa Trio Jomblo.

Photo by Barrett Baker on Unsplash





About

authorAssalamualaikum, nama saya Syukur A. Mirhan. Sekarang ini saya tinggal di Temboro, tautan sosial media di bawah ini.
Learn More →



QUOTES

“Pada akhirnya Cinta, Bukan kata Adalah” ― Syukur A. Mirhan