.

Sunday, September 29, 2019

7:19 PM

DARUT TASHNIF TEMBORO: STUDI BANDING SIDOGIRI MARET 2017

Monday, September 23, 2019

Saturday, September 14, 2019

4:25 PM

TAK GUNA TAHTA DI GUDANG HARTA


Di kiri dan kanannya para abdi tak henti-henti mengipasi Raja Loba, Penguasa Negeri Mekar Mayang, yang duduk di singgasana berlapiskan emas. "Hei, panggilkan Ponggawa setiaku!" kata Raja Loba kepada salah seorang abdi.
Tak berapa lama datanglah Ponggawa yang dipanggil abdi menghadap Raja Loba. "Hamba, Baginda. Apakah ada titah Baginda yang harus hamba laksanakan?"
"Hmmm… bagus kamu cepat datang! Antar aku memeriksa semua gedung-gedung kerajaan!"
Raja Loba diiringi Ponggawa berjalan mengelilingi pusat kerajaan. Sambil memuntir-muntir kumisnya yang sebesar lintah raksasa, Raja Loba memeriksa satu persatu gedung kerajaan.
"Hei, Ponggawa!"
"Ya, Tuanku."
"Tinggal satu gedung yang harus kuperiksa, tapi aku sudah letih, mau istirahat dulu di sini. Hai, Pongggawa, gedung khusus tempat menerima tamu kehormatan kerajaan sudah selesai dipugar?"
"Menurut Mandor Odang, tinggal finishing ngecat tembok taman-tamannya, Tuanku!"
"Bagus! Bilang sama Mandor Odang, rampungkan segera!"
"Baik, Tuanku."
Raja Loba 3-5 detik nyengir memperhatikan Ponggawa yang lincah balik badan dan berlalu dengan santun dan elegan. Tak lama ia telah kembali ke hadapan Raja Loba. Napasnya ngos-ngosan, keningnya basah oleh bulir-bulir peluh.
"Hai, Ponggawa."
"Hamba, Tuan."
"Dari sekian banyak abdi dalem kerajaan, aku hanya mempercayaimu. Aku nilai kamulah abdi yang paling loyal, total, dan profesional sehingga selalu sukses melaksanakan tugas-tugas kerajaan. Dan kinerjamu itu sungguh memuaskanku…" Raja Lomba manggut-manggut.
Ponggawa mengangguk-angguk, dadanya menahan bahagia dan bangga yang membuncah-buncah.
"Kini…" Raja Loba menahan napas, "ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu. Sesuatu yang sangat rahasia. Tak boleh diketahui siapapun. Bahka oleh permaisuri dan putri semata wayangku sekalipun. Paham!?"
"Pa… paham, Tuanku."
"Kita bicara di ruang sana saja!"
"Ya, Tuan." Ponggawa mengikuti Raja Loba menuju ruang khusus.
"Nah, di sini kita cuma berdua. Dengarkan! Sanggupkah kamu menjaga rahasia yang akan kusampaikan kepadamu?"
"Sa… sanggup, Tuanku."
"Bagus! Bagus! Hmmm… selain kerajaan yang megah, aku mempunyai harta yang mewah, jumlahnya melimpah, dan harganya wah, tak ternilai." Dada Raja Loba berdegup bangga.
Ponggawa mengangguk-angguk, dadanya turut berdegup bangga.
"Harta itu berupa emas, intan, permata, berlian, jamrud, keong mas, kepingan emas uang dinar dan dirham, batik akik purba, guci antik tiongkok, dan barang-barang kuno yang tak terhingga harganya. Kini harta tersebut kusimpan di gudang yang sangat rahasia di antara gudang harta paling rahasia. Tetapi akhir-akhir ini aku bisikan hatiku tak tenang. Aku mencium bau tak sedap pengkhianatan. Adik tiriku diam-diam berambisi mencopot mahkotaku, merebut singgasanaku, mencuri hartaku, memperistri istriku, dan menguasai kerajaanku. Maka, mulai saat ini kamu akan kuberi tugas istimewa, yakni menjaga sekaligus memelihara hartaku tersebut!"
"Hamba akan melaksanakan perintah Tuanku."
"Hmmm… bagus! Seminggu sekali kamu harus memeriksanya, lalu melaporkannya kepadaku!"
"Inggih, Tuanku."
"Kini, ikut aku ke gudang rahasia itu!"
"Baik, Tuanku."
Dibuntuti Ponggawa, Raja Loba berjalan menuju gudang harta rahasia. Melewati kebun temu lawak, belok ke kebun sirih, berputar di kebun kemangi, lurus ke kiri melewati kebun jahe, turun ke perigi, menyusuri jalan setapak, barulah keduanya sampai ke bukit kecil yang ditumbuhi belukar ilalang.
"Nah, inilah tempat yang kuceritakan itu." Raja Loba menunjuk goa yang di dalamnya di dalamnya dibangun ruang khusus untuk menyimpan harta.
Raja Loba membuka pintu gudang harta rahasia. "Ayo masuk!"
"Inggih, Tuan." Begitu msuk, Ponggawa takjub meliat harta benda yang melimpah ruah.
Sehabis mengelilingi gudang harta rahasia, Raja Loba mengajak Ponggawa masuk ke sebuah kamar khusus. "Kamar ini sengaja kurancang untuk tempat rehatku, bila sudah lelah melihat-lihat harta harta kekayaanku. Di dalamnya kusimpan koleksi ranjang antik, meja antik, kursi antik, lilin antik, kertas antik, pena antik, tinta antik, sprei antik, selimut antik, permadani antik, bokor antik, kasur antik, bantal antik, dan lain-lain yang antik-antik." Mulut Raja Loba tak mengatup ketika menciumkan pantatnya ke bibir ranjang.
"Nah, Ponggawa, kamu sudah tahu seluruh harta rahasiaku…" Raja Loba menilik-nilik wajah Ponggawa, Ponggawa menunduk.
"Kamu aku percaya untuk menjaganya. Ingat! Seminggu sekali, setiap hari Sabtu pagi, kamu harus memeriksanya. Camkan! Jangan ceritakan gudang harta rahasia ini kepada siapapun. Kalau sampai ada orang yang tahu, selain aku dan kamu, tiang gantungan menunggumu!" Mata Raja Loba menatap tajam Ponggawa yang gemetar ketakutan. "Paham!"
"Ya, Tuan."
"Laksanakan titahku ini!"
"Hamba akan melaksanakan titah Baginda."
"Kalau begitu, mari kita kembali ke kerajaan.
"Baik, Tuan."
***
Suatu hari Raja Loba pergi ke gudang harta rahasia. Dia mengecek satu persatu harta berharga miliknya. Meskipun sudah percaya kepada Ponggawa, tetapi benih curiga justru tumbuh di hatinya. Dia khawatir malah si Ponggawa sendiri yang mencuri hartanya tersebut. Selain dia, kini hanya Ponggawalah yang tahu gudang harta rahasia. Sementara seorang pejabat yang merancang, tiga pegawai yang bertugas mengumpulkan peralatan bangunan, dan empat pekerja yang mengerjakan bangunan gudang harta rahasia sudah mati begitu gudang harta rahasia tersebut jadi permanen.
Dalam acara jamuan makan malam perkawinan Raja Loba dengan selirnya yang ketujuh, Raja Loba membubuhkan racun pada makanan yang dihidangkan khusus untuk si pejabat.
Tiga orang pegawai dihukum gantung dengan tuduhan rekayasa: berkomplot mau menculik permaisuri raja. Tiga orang pekerja bangunan sengaja dibunuhnya dengan menggunakan begal bayaran. Satu orang lagi, setelah disekap, dilemparkan ke dalam jurang oleh prajurit suruhannya.
Sambil berkeliling bibir Raja Loba berdecak-decak kagum sendiri melihat kekayaannya yang melimpah ruah. Setelah merasa puas, Raja Loba menuju pintu untuk kembali ke pusat kerajaan. Tapi apa yang terjadi? Pintu keluar ruangan yang hanya ada satu-satunya itu telah terkunci rapat.
Tok! Tok! Tok! "Tolong buka pintu!" Tak ada yang mendengar. Tok! Tok! Tok! "Siapa yang mengunci pintu dari luar?" Tak ada yang menjawab. "Hai, siapa yang berani-berani mengunci pintu dari luar?!" Tak ada yang menyahut. "Tolooongngng…!!!" Sunyi sepi.
Rupanya sebelum Raja Loba masuk ke gudang harta rahasia, Ponggawa baru saja melaksanakan tugasnya. Tetapi tidak seperti biasanya, setelah mengecek gudang harta rahasia, seharusnya dia ke istana lebih dahulu untuk laporan ke kepada Raja Loba. Kali ini dia langsung kembali ke rumah, karena tidak tahun ingin segera bertemu istrinya. Maklum baru pengantin baru. Saking tak tahan ingin bermesra cengkrama dengan istrinya, dia sampai lupa menaruh kunci duplikat gudang harta rahasia.
"Mas, Sabtu ini kok siang-siang sudah pulang, biasanya sampai larut malam, kangen ya sama adik tercinta?" Istri Ponggawa menggeliat manja.
Tiba-tiba kening Ponggawa berkerut. "Oya, Dik?" Tiba-tiba Ponggawa teringat kunci duplikat gudang harta rahasia. Dia pun bingung, apakah kunci duplikat itu tertinggal? Pintu gudang harta rahasia sudah dikunci atau belum?
"Kok, mendadak resah, Mas?" tanya istrinya."Aku lupa menaruh kun… kun…" Ponggawa urung melanjutkan kata."Kun… kun apa, Mas?"
"Kun… kuncang, Dik?"
"Ah, biasanya Mas nyimpan uang di ikat pinggang, enggak pernah di kuncang."
"Dik, tadi aku beli kuncang untuk nyimpan uang, aku lupa naruhnya. Mungkin ketinggalan di tempat tugasku."
"Banyak uangnya, Mas?"
"Lumayan."
"Cepat cari, Mas! Nanti keburu ada orang yang nemu."
"Kalo gitu, harus segera, Dik!"
"Ya, Mas, cepat!"
Ponggawa segera berlalu. Tergesa-gesa kembalike gudang harta rahasia. Sepanjang jalan jantungnya berdegup kencang. Berulang-ulang menarik napas tegang. Terbayang olehnya tiang gantungan. Dia baru plong ketika sampai muka gudang harta rahasia, dilihatnya kunci persis berada di lubangnya. "Selamet! Selaaameet!" Ponggawa bungah.
Dari saking tegang lalu saking senang, Ponggawa kehilangan pikir panjang. Saking spaneng ingin segera bertemu dan bercumbu dengan istrinya (maklum, masih bulan madu) Ponggawa tak sadar kunci duplikat gudang harta rahasia terjatuh di kebun temulawak. Kini, ketika kembali ke gudang harta rahasia dan menemukan kunci di lubang pintunya, Ponggawa tidak sempat heran apalagi berpikir: mengapa kunci yang sudah dibawanya ada di lubang kunci? Maklum, orang tegang campur senang dalam satu tempo terkadang malah mendadak bingung dan linglung
"Celaka! Celaka! Celaka nasibku. Aduh, biyuuung… Raja Loba memukul-mukul jidatya.
Seharian Raja Loba menggedor-gedor pintu gudang harta rahasia. Percuma. Hingga jatuh lunglai. Detik demi detik, meneit demi menit, jam demi jam, hari berganti hari Raja Loba tersekap di dalam gudang harta rahasia. Tanpa makanan. Tiada minuman. Wajahnya memucat. Kondisi tubuhnya melemah. Perutnya buncit, pelan tapi pasti diserang busung lapar. Seminggu sudah, badannya tinggal tulang dan kentut. Tak mampun bertahan hidup. Terkapar di bawah pintu gudang harta rahasia. Mati. Membangkai. Dan membusuk.
Seluruh penjuru kerajaan gempar. Raja hilang. Tanpa jejak. Tanpa tapak. Tanpa kabar. Tanpa pesan. Tanpa pamitan. Tanpa permisi. Tanpa basa-basi. Tanpa wasiat. Tanpa ba bi bu. Karuan saja desas desis desus santer di seantero dalam kerajaan sampai luar kerajaan.
Keluarga kerajaan berduka. Setiap sudut negeri diselidiki dan diteliti. Seluruh kerabat raja diinterviu, siapa tahu di antara mereka ada yang menjadi musuh dalam selimut lalu diam menghabisi raja secara lembut. Para prajurit dikerahkan. Dana besar dikeluarkan. Segenap rakyat diwajibkan mengheningkan cipta. Umbul-umbul hitam dipasang di jalan-jalan dan gang-gang. Sayembara pun digelar: Barangsiapa yang menemukan raja dalam keadaan hidup atau mati akan diangkat menjadi pangeran sekaligus dikawinkan dengan dengan putri jelita sanga raja!
Sementara itu, Ponggawa adem ayem tentrem saja berdolan mesra dengan istrinya. Isu hilangnya sang raja jadi canda indah honey moon.  
"Mas, raja kok betah amat sembunyi?"
"Kok, sembunyi? Hilang, Dik!"
"Apa sih bedanya hilang sama sembunyi, Mas?"
"Sembunyi itu sengaja tidak menampakkan diri, hilang itu tidak sengaja menyembunyikan diri."
"Ah, njelimet sekali sih, Mas. Aku jadi pusing."
"Kalo pusing, muter tujuh keliling!"
"Hihihi…" tawa istri ria Ponggawa.
"Hehehe…" balas tawa Ponggawa.
Sejenak, 3-4 detik, jidat istri Ponggawa berkerut. "Eh, Mas, biasanya tiap hari Sabtu pagi Mas punya tugas istimewa, kan?"
"Tugas istimewa?" Jidat Ponggawa turut berkerut. "Oya, Dik, jangan-jangan…?!"
"Jangan-jangan apa, Mas?" Istri Ponggawa heran campur penasaran.
"Cepat ambilkan baju dinasku, Dik!"
"Kok, buru-buru amat sih, Mas?"
"Waktu tugasku udah telat, Dik."
"Orang juga maklum, Mas. Kita kan pengantin baru."
"Iya sih, Dik, tapi cepatlah siapkan baju dinasku. Sebentar aku mandi dulu!" Ponggawa tergesa-gesa ke jamban di belakang rumah. Tak lama selesai mandi. Tanpa bicara langsung memakai baju dinas. Istrinya kecewa campur penuh tanda tanya, suaminya mendadak kehilangan selera mesra.
"Jangan lupa cari buah mojo, Mas!"
"Aduh, kalo ngidam yang normal aja, Dik. Masa pengen buah mojo, sih? Kan pahit dan bisa mabuk kalo dimakan."
"Bukan buat dimakan, Mas, buat bal-balan."
"Iya, deh. Mas pergi dulu ya, Dik."
"Inggih, Mas."
Istri Ponggawa lekat-lekat menatap kepergian suaminya. Seribusatu firasat melintas-lintas si seputar jaringan benaknya. Akhirnya, bisik hatinya membujuknya diam-diam membuntuti suaminya kemana pergi.
Ponggawa sudah tiba di gudang harta rahasia. Ketika mau membuka pintunya, tercium olehnya bau busuk yang sangat menyengat. Hampir saja dia muntah. Tetapi rasa penasaran cukup menahan isi perutnya yang sudah mendesak keluar sampai kerongkongnya. "Bau busuk sekali, dari mana asalnya?" bisik hatinya.
"Kaaakkk… Kaaakkk… kaaakkk…" Ponggawa terkejut, di atas rumpun pohon beringin burung-burung nasar berputar-putar.
"Burung pemakan bangkai?" Ada apa gerangan? Ah, jangan-jangan…"
Ponggawa mendorong pintu gudang harta rahsia. Tetapi sesuatu seperti mengganjal di bawah pintu. Bau busuk semakin menyengat. Dan…
"Rajaaa…" Ponggawa ambruk dan mati suri.
"Masss…" jerit istri Ponggawa sebelum turut mati suri.
Jeritan istri Ponggawa yang bergema terdengar jelas oleh Gembala yang sedang asyik meniup seruling di atas kerbau di tengah padang rumput, kira-kira dua puluh lima meter dari gudang harta rahasia yang sekilas seperti bukit kecil yang di atasnya dirimbuni rerumpun beringin. Tanpa tolah-toleh Gembala langsung lari menuju arah sauara suara jeritan. Tanpa diduga, tanpa dinyana, tanpa mimpi sebelumnya, dia melihat kondisi menyengsarakan di mulut gudang harta rahasia.
"Aku harus segera memberikan kabar kepada segenap orang kampung!" Gembala membalikkan badan dan lari menuju kampung.
Seluruh penjuru dalam dan luar kerajaan gempar. Raja Loba ditemukan dalam keadan mengenaskan, sudah menjadi mayat. Berduyun-duyun rakyat menuju gudang harta rahasia, tempat ditemukan mayat raja yang malang. Di dekat mayat raja tergeletak Ponggawa dan istrinya yang untung cuma mati suri, tidak mati murni.
Nasib Raja Loba tinggal mayat busuk. Tubuhnya dikerubungi belatung masih memakai baju kebesaran. Batok kepalanya yang sudah setengah tengkorak masih mengenakan mahkota. Mengenaskan. Emas, perak, intan, mutiara, berlian, jamrud, akik perba, kepingan dinar-dirham, gunci tiongkok, benda-benda serba antik tidak dapat menyelamatkan dirinya dari kelaparan dan kehausan yang berujung kematian. Mahkota sebagai tanda manusia "bekuasa" tidak bisa mendatangkan makanan dan minuman ke dalam gudang harta yang terkunci. Tak guna tahta di gudang harta.
Magetan, Juni 2007


Monday, September 9, 2019

9:19 AM

PERAHU YANG TAK PERNAH MEMBUANG SAUH


Duhai yang merahasia, barangkali hanya ranum bunga jati
Dan guguran daun-daun trembesi yang bisa menafsiri
Seluruh deru dan gemuruh rasa yang ditsunami sunyi
Ketika rindu menggempa, menggetarkan tanjung hati

Duhai yang merahasia, mengapa tempias hujan pamungkas
Dari celah-celah jendela renta di timur belakang rumah
Menderas ke lembah  jiwa terdalam yang kian cemas
Bikin kangen yang tiada berperi istikomah membasah

Duhai yang merahasia, memang aneh sebuah kisah tanpa prolog
Namun lebih aneh lagi seumpama kisah itu tak pernah berepilog
Hingga Madinah van Java hiruk oleh anggrek merah jambu
Bergelantungan dan menjalar pada pilar-pilar relung kalbu

Duhai yang merahasia, pada akhirnya, ditandai guguran sajak
Pada sekian jalan, tikungan, tanjakan, pertigaan, dan perempatan
Sebelum seluruh latar dan alur menyempurnakan jejak
Perahu yang tak pernah membuang sauh di pelabuhan

pun segera kembali  menjarak

 : Melayari bentangan hening lautan
   Perasaannya sendiri yang rawan

Temboro, 2017

Photo by Craig Cameron on Unsplash

9:17 AM

PADA AKHIRNYA PUISI BERPULANG KEPADA PUISI Blues of Rehmanova


Demikianlah, Dik, pada akhirnya semua kembali niscaya
Engkau pun akan senantiasa bergegas menuju jalan utara
Sedang aku terus bersiap-siap berangkat ke arah tenggara
Mengemasi seluruh cerita yang kurampai dari serakan kata

Demikianlah, Dik, pada akhirnya engkau kembali merahasia
Sebab engkau hijab yang tak boleh siapapun menyingkapnya
Engkau masih kuntum kembang pada pucuk hijau tangkainya
Tak boleh gugur, karena musim semi itu belumlah lagi tiba

Demikianlah, Dik, pada akhirnya engkau pun akan beranjak Menghapus jejak-jejak, menempuh jauh jarak demi jarak
Sedang aku, tersipu-sipu, memunguti sendiri serpihan sajak
Yang berkisah tentang jalur-jalur janur ungu Temboro-Geplak

Demikianlah, Dik, bagai daun-daun tanggal dari ranting pohonan
Jatuh, gugur, luruh, dan hanyut terseret arus banjir kali trangkil
Dari hutan kecil tebing barat jembatan dan tepian bendungan
Luput dari alur hikayat Madinah van Java yang terus mengalir

Demikianlah, Dik, pada akhirnya puisi berpulang kepada puisi
Sedang engkau hanyalah seorang gadis fiksi negeri imajinasi
Tenanglah tenang, Dik, tak perlu resah pergi-pulang mengaji
Biarlah lelaki separuh abad ini menafakuri sesunyian sendiri

Temboro, 2017

Photo by Dikaseva on Unsplash



9:13 AM

SEBELUM KAU DAN AKU SENANTIASA JATUH CINTA DI MADINAH VAN JAVA


Tenggelam aku dalam banjir lamun

Hujan yang kian menderas di Madiun
Nafisa, airmatamukah yang belum tuntas
Membanjiri jalan hijrah yang kita retas

Nafisa, di Nambangan ada tembang lawas
Mengiang-ngiangkan kreteg-kreteg cemas
Suara hati kita tengah mengalunkan cerita
Bengawan duka meluap oleh bandang airmata

Dari Mangunharjo ke Jiwan ingatan berseliweran
Angin menerpakan lirih lirik-lirik perih kenangan
Menggumpalkan elegi silam kampung halaman
Mengentalkan kangen dalam tirai perasaan

Namun, Nafisa, seperti ikrar kita --19 tahun lewat
Bukankah kita tak akan naik kereta ke arah barat
Untuk mengembalikan luka ke negeri nostalgia
Sebelum kau dan aku senantiasa jatuh cinta

Di Madinah van Java

Madiun, 23 Januari 2015

Photo by Tyler Nix on Unsplash



9:05 AM

TUMPAHKAN KELUHAN “TIDAK BISA MENULIS” DENGAN TULISAN


Oleh Syukur A. Mirhan

Mengajar Pelajaran Menulis di Kelas Dauroh Hadits (Kelas 7 dan 8 Diniyah) dan Kelas Takhossus (Takhossus Minhaj 1-2 dan Umdah, tahun kemarin Fathul Qorib) memberikan pengalaman menarik bagi saya.
Pada tumpukan makalah atau karya tulis tahun pertama berupa jurnal diniyah atau kumpulan artikel ilmiah-diniyah yang dikumpulkan para santri saya mendapati sebuah tulisan yang unik dan menggelitik. Paragraf pertama tulisan tersebut diawali prolog (mukadimah): Pak Syukur, sebenarnya saya tidak bisa menulis karena... . Namun,  izinkanlah saya menuangkan syair-syair di bawah ini. Paragraf kedua, berisi untaian syair yang indah dan mengharukan. Paragraf ketiga atau penutup, berupa pesan atau lebih tepat permohonan dicarikan jodoh (calon istri).
Seraya mengernyitkan kening dan tersenyum-senyum saya merenungi tulisan unik dan menggelitik itu. Pertama, walaupun tidak memenuhi kriteria,  tulisan tersebut perlu mendapat apresiasi (penghargaan atau penilaian). Kedua, meskipun tidak memenuhi kriteria,  tulisan itu memberikan pelajaran penting kepada saya.
Tulisan tersebut perlu mendapat apresiasi (penghargaan atau penilaian) paling tidak karena dua alasan. Pertama, tulisan tersebut menunjukkan kepada saya bahwa santri yang menulis tulisan tersebut berusaha menunaikan kewajibannya menyelesaikan tugas akhir Pelajaran Menulis sebagai syarat kenaikan/kelulusan belajarnya. Kedua, tulisan tersebut menunjukkan kepada saya bahwa santri yang menulisnya tidak melakukan copas atau menjiplak karya orang lain semata-mata sekadar untuk mengumpulkan tugas dengan tujuan sing penting naik kelas/sing penting lulus dan sing penting bisa ikut wisuda.
Tulisan tersebut memberikan pelajaran penting kepada saya  bahwa sebenarnya walaupun dalam tulisannya dia mengungkapkan "tidak bisa menulis",  tulisannya mengisyaratkan sebenarnya dia mempunyai potensi "bisa menulis".
Dia menulis tentang mengapa dia tidak bisa menulis. Meskipun dia tidak bisa menulis, dia menuangkan alasan "tidak bisa menulis"-nya dengan tulisan yang terdiri dari kata, kalimat, dan paragraf. Mula-mula dia merangkai kata menjadi kalimat. Kemudian dia merampai kalimat menjadi paragraf. Selanjutnya dia menjalin paragraf menjadi teks. Jadilah tulisan yang isinya mengisahkan dirinya "tidak bisa menulis".
Dia menulis syair yang panjang sampai dua halaman. Apakah karena saking bingungnya "tidak bisa menulis" dia "harus banting stir" menulis syair? Perlu diketahui, menulis syair adalah salah satu keterampilan menulis. Berarti, sadar atau tidak sadar, dengan menulis syair dia sebenarnya punya keterampilan menulis.
Dia menulis curhat ingin dicarikan jodoh (calon istri). Dia mengisahkan umurnya, kerisauannya, dan cita-citanya ingin mempunyai istri yang sholihah  dengan menuangkannya lewat tulisan. Dia menggoreskan kata-kata supaya mengalirkan pikiran. Dia menorehkan kata-kata agar bisa mengalurkan perasaan. Dia menyampaikan kata-kata, kalimat-kalimat, dan paragraf-paragraf yang menjadi tulisan yang dapat meyakinkan pembaca (minimal diri saya).
Masyaalloh. Saya sendiri, barangkali, tidak akan bisa menulis tentang tulisannya kalau dia tidak mengumpulkan tulisannya meskipun tidak memenuhi kriteria sebagai karya tulis yang sesuai kurikulum. Tulisannya yang unik dan menggelitik justru mengilhami saya menuangkan catatan pendek ini. Artinya, tulisannya telah mendorong saya terus menulis.
Demikianlah, seseorang yang curhat "tidak bisa menulis" jika menuangkannya dengan "tulisan", maka dia jadi "bisa menulis" atau dengan kata lain, curhat "tidak bisa menulis"-nya itu bisa jadi "tulisan".
Di dalam atau di luar Pelajaran Menulis tidak bosan-bosan saya memberikan spirit atau motivasi kepada anak-anak kelas 7,8, dan kelas takhossus. Kalau terpaksa tidak bisa menulis, coba tuangkan "tidak bisa menulis" itu dengan "tulisan". Insyalloh! Semua akan bisa menulis.
Beberapa lama setelah acara Pertemuan Wali Santri saya bertemu dengan santri yang tulisannya saya kisahkan di atas. Kalau tidak salah, ketika dia mau mengantar adiknya mondok. Setelah menyalami saya dengan santun, dia bilang, "Alhamdulillah, Pak, saya sudah menikah!"
Seraya mengernyitkan kening dan tersenyum-senyum saya merenungi ceritanya. Belumlah saya carikan jodoh (calon istri), dia sudah menikah. Boleh jadi, berkah mengumpulkan karya tulis, salah satunya adalah mempercepat datangnya jodoh?! Siapa tahu? Wallahu'alam.

Abdul Syukur H. Mirhan, Guru Pelajaran Menulis di Program Dauroh Hadits dan Takhossus Pondok Pesantren Al-Fatah Temboro

Photo by Luca Laurence on Unsplash


9:02 AM

SETTING MINIATUR MASYARAKAT MADANI


Dalam "Workshop Jurnalistik Islami sebagai Media Dakwah dan Pendidikan" (2008) di Temboro, Haikal Hira Habibillah (mantan Ketua
Forum Lingkar Pena Jawa Timur) dengan semangat memotivasi, teman-teman aktivis penulis Temboro sebenarnya punya modal suasana masyarakat islami untuk membikin karya sastra Masyarakat Madani. Karya sastra Masyarakat Madani, dalam bahasa saya, adalah karya yang menjunjung tinggi sendi-sendi Islam; yakni imaniah, ibadah, muamalah, muasyarah, dan akhlak dengan menghidupkan kembali ruh dakwah, ta'lim wa ta'lum, dzikir ibadah, dan khidmat Masyarakat Madinah pada zaman Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa salam.
Salah satu "laboratorium" utama Masyarakat Madani adalah pesantren. Maka, tidaklah heran, kaum pluralissekuleris-liberalis terus mengobok-obok "jeroan". pesantren, salah satu caranya dengan membuat karyakarya yang bertendensi mempluralkan, mensekulerkan, dan meliberalkan pesantren. Jelas, mereka pun ingin menjadikan pesantren sebagai "kelinci percobaan" masyarakat yang pluralis, liberalis, dan sekuleris. Yang mengherankan, karya-karya tersebut disadari atau tidak malah dilahirkan, dibidani, dibesarkan, atau diasuh kaum
Berlatar belakang santri tulen yang "ngelotok" muthalaah kitab kuningnya. Bukan jebolan sanlat (pesantren kilat) seperti saya yang "rontok" menelaah "kitab putih" alias buku umum. Namun demikian, tentu masih lebih banyak karya yang mempunyai spirit atau motivasi mempertahankan pesantren sebagai salah satu "laboratorium" masyarakat madani. Kebetulan dalam karya-karya tersebut terdapat setting pesantren dan tokoh santri sebagai protagonis (tokoh utama)-nya. Cerpen Surat dari Pondok untuk The Color Rock Back dalam kumpulan Cerpen Masih Cuma Bisa di Republik Mimpi karya Boim Lebon, seorang tokoh santri lewat suratnya menceritakan kehidupannya di Pondok Pesantren Al-Fatah Temboro kepada teman-teman gank-nya semasa SMA di Tangerang. "Heroes: Pahlawan dari Jatinongol" karya Syukur A. Mirhan dan El Nafisa sebetulnya novel serial yang tokoh utamanya (akhirnya) berangkat ke Jawa Timur untuk mondok di Pondok Pesantren Al-Fatah Temboro, meski secara samar penulis novel tersebut menyebutnya Pondok Pesantren Darussalam Timur Gunung Lawu. Teman-teman tokoh Ujang dalam Heroes yang bertemu di sebuah masjid di Bandung berasal dari pondok pesantren
yang sama dengan tokoh Aji dalam Surat dari Pondok untuk The Color Rock Back. Dalam Novelet Linang Cinta Madinah
Van Java, bahkan "terang-terangan" Syukur A. Mirhan dan El Nafisa mengambil latar Temboro dengan menyebut nama Temboro, bukan lagi Kampung Timur Gunung Lawu seperti pada karya-karya fiksi mereka sebelumnya. Mengapa penulis tiga buku fiksi tersebut tertarik mengambil Temboro sebagai setting karya fiksinya? Temboro baik sebagai setting realitas masyarakat Islami atau sebagai setting imajinasi fiksi Islami sangat menarik menjadi sampel setting miniatur Masyarakat Madani, bukan Masyarakat Madani yang "masih diskusikan" atau "masih diopinikan" dalam wacana-wacana. Meskipun secara arif, mereka pun menghormati, saudara-saudara mereka tentu saja mempunyai persepsi berbeda tentang Masyarakat Madani. Maka, Masyarakat Madani dalam karya sastra yang dicitacitakan masing-masing tentu saja format dan hakikatnya berbeda pula.
Masyarakat Madani yang dicitacitakan pluralis-sekuleris-liberalis tentu saja berbeda dengan Masyarakat Madani yang dicita-citakan aktivis dakwah yang tidak silau dengan "lipstik" universalisme, karena ia punya keyakinan terhadap: Rasulullah dikirim ke dunia sebagai rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam) dan tidak minder mengadopsi nilai-nilai universal Barat yang jelas-jelas meracuni nilai-nilai Islam. Wallahu'alam.
9:00 AM

KESUNYIAN HATI (CERBUNG DIARY BIDADARI, 1)


Udara yang masih basah disemaraki manuk sriti yang melesat, meliuk, menukik, dan berkelit-kelit lincah dari pepanah gerimis. Melayang-layang rendah pada bibir kolam, dan dengan sayap-sayap mungilnya, laskar manuk alit itu menyisir angin semilir. Oh betapa indahnya hari mereka. Betapa bahagianya hidup mereka.
Ahad senja. Baru saja berlalu hujan deras. Termenung aku. Sendiri. Sesunyian merubungi halaman rumah yang luas. Mengigigil perdu-perduan, rerumputan, bebungaan, dan tetanaman hias.
Memandang kehijauan menghampari bumi, mataku menyendu. Dalam tatapanku, rona roman buana mengelabu. Di serambi pavilyun, aku perempuan ngungun.
Seharusnya berbahagialah diriku kini sebagaimana burung-burung sriti itu. Semestinya hatiku menikmati lanskap ini. Mengapresiasi karya seni ilahi. Mengilhami lahirnya seribu satu diksi. Seribu satu diksi yang akan kutuangkan menjadi rampai-rampai puisi. Namun, hanya sediksi yang lahir dari rahim inspirasi: Sunyi. Sunyi yang kian melumuti sansai hati.
Lengkung pelangi menyangga pinggang langit. Merah, kuning, dan hijau melukisi ufuk. Meski sekilas, cakrawala pun terhias. Dari bilik gemawan berarak matanur mentari mengintip sejenak.
Senjakala senantiasa mengedar tetanda. Sedang aku tak kuasa mengudar makna. Sebab langit jiwa digemega dukana. Segala rasa terpenjara lara.
Setiap kali gelap merayap, senyap pun mendekap. Di sudut hati, sepanjang musim bumiku sunyi. Pelita hidup yang tertiup sepi pun meredup.
Malam pun merambat. Jika tiba, demikian cepat. Jika pergi, begitu lambat. Sepertinya malam sungguh betah menyahabat. Berkarib-karib seakan tak ingin raib. Dekat-dekat senantiasa merapat. Bahkan melekat dalam pikiran dan perasaan mampat.
Nyaris saja aku terjerat. Terperangkap maksiat. Namun, alhamdulillah, obor jiwa masih mencahayai akal sehat. Dengan rahmat-Nya, aku mengharap terlepas dari goda yang selalu siap menyandera. Aku memohon terbebas dari dosa yang senantiasa siaga mendera.
Seharusnya hidupku berbunga rasa bangga. Dari sekian saudara, sekian teman kuliah, sekian perempuan, dan sekian warga di kampungku, aku termasuk orang yang mujur dengan kehidupanku yang mapan pada masa karier yang terbilang dini.
"Kurang apa Teh Hana...?!"
"Pendidikannya tinggi..."
"Udah doktor tea..."
"Iya, kaya lagi..."
"S3-nya aja di UI...!"
"Kuliahnya aja naek pesawat ke Jakarta!"
"Bisnisnya juga sukses..."
"Plus cantik padahal...!"
"Iya, Agnes Monica aja lewat dech...!"
Hampir tiap hari kudengar percakapan empati dari Mang Ipin dan Kang Dindin di sela-sela kesibukan keduanya mengelola home industri layang-layang dan benang gelasan.
Enam belas tahun lalu, tepatnya tahun 1998, aku berhasil menyingkirkan ratusan bahkan ribuan pendaftar CPNS di wilayah propinsiku. Sudah hampir dua dasawarsa kehidupanku mengalir bagai banyu bengawan yang tak pernah surut. Pendapatanku yang berprofesi guru PNS bersertifikat pendidik dan pebisnis kuliner terbilang lebih untuk seorang wanita lajang seperti diriku.
Sedikit demi sedikit. Lama-lama menjadi bukit. Perlahan-lahan aku bisa mewujudkan impian-impianku. Impian untuk berdikari. Impian hidup mandiri. Impian memiliki rumah sendiri. Impian mempunyai kekayaan sendiri. Impian mempunyai kendaraan sendiri. Dan bisa berdandan dengan aneka perhiasan berharga tinggi.  
Impian-impian itu bukan sekadar khayalan atau angan-angan seorang Guru PNS yang kebingungan bagaimana uang pelicin yang dulu jor-joran dikeluarkannya agar dirinya menjadi Guru PNS bisa kembali secepatnya atau kembali modal sebelum pensiun. Impian-impian itu kini benar-benar nyata. Belum lagi segudang prestasi yang kuraih. Tentu hal itu seharusnya membuat bungahku membuncah-buncah.
Namun, tidak bagiku! Ketika orang-orang memberikan selamat atas kesuksesanku, justru bimbang makin menggelombang. Ketika orang-orang berdecak kagum atas kemandirianku, justru galau menggebalau. Ketika berbagai penghargaan kuraih, justru resah makin merambah manah.
Di hadapan orang-orang senantiasa kusunggingkan senyum. Namun, senyumku hanya senyum semu. Senyum yang hanya sekadar untuk membahagiakan orang tua dan keluargaku. Senyum yang hanya sekadar untuk menghormati saudara dan tetangga. Senyum yang tak mampu menepis mendung yang merubung diriku sehingga langit hatiku yang kelabu mencerah biru.
Ada sesuatu yang kurang dalam hidupku sehingga kebahagiaanku terganjal di antara tumpukan keberhasilanku selama ini. Usiaku semakin mendekati senja bagi perempuan yang masih single. Angka kepala tiga sudah sekian lama kulewati. Bahkan kini, tinggal hitungan hari mendekati kepala empat. Namun, sampai detik ini, belum juga ada tanda-tanda seorang lelaki yang akan meminangku, untuk menjadi pendamping hidupku, untuk menjadi tambatan hatiku, tempat seluruh luruh perasaan kutumpahkan.
"Makanya jangan sok palah-pilih!"
"Iya, kalo palah-pilih jadi susah milih!"
"Akhir-akhirnya jadi susah dipilih!"
"Jodoh jadi sulit!"
"Kayak belut masuk lubang sempit!"
"Husss! Gak nyambung!"
"Biarin!"
Tidak jarang pula kudengar omongan orang banyak begitu habisan-habisan mengunjingku. Meskipun sungguh aku tidak pernah merasa sedikit pun berbuat seperti itu. Tidak pernah melakukan seperti yang mereka gunjingkan.
Namun, aku tak pernah sekalipun merespon, membalas, atau mengklarifikasi hal itu kepada mereka. Kurasa hal itu tak perlu. Hanya akan membuat gosip tak sedap tentang diriku kian semarak. Aku hanya instrospeksi dan menangis sendiri, merasakan apa yang kurasakan sendiri. Meski aku harus tenggelam dalam kesedihan yang kian hari kian mendalam.
Dalam kesedihan yang kian mendalam, sungguh! Aku begitu merindu janur kuning merunduk di ujung kanan pagar pintu halaman rumahku yang berdisain futuristik. Sejak diangkat menjadi Guru PNS dan memulai bisnis kuliner, sungguh! Enam belas musim berganti, aku jenuh menyaksikan aneka bunga yang mekar dan gugur di taman yang tak pernah lagi menentramkan.
 "Iya, Enek doakan, biar Nyi Hana cepet dapet jodoh!" kata Nek Enok.
"Ganteng, gagah!" ucap Bah Otoy.
"Soleh lagi!" timpal Nek Enok.
"Bageur!" balas Bah Otoy.
"Cageur!" imbuh Nek Enok.
Terkadang aku merasa terhibur pula oleh omongan Bah Otoy dan Nek Enok setiap kali aku memesan leupeut dan bala-bala khas Dusun Cijolang. Omongan lugu, jenaka, dan tanpa tendensi pasangan suami istri 80 tahunan yang telah mengarungi samudera rumah tangga selama kemerdekaan Indonesia itu membuat bibirku memekarkan senyum.
Jika orang menyirami ragam tanam hias dan aneka bunga di pagi hari untuk penyegaran agar sebelum berangkat ke tempat pekerjaan pikirannya damai sedamai sepasang kupu-kupu yang bercengkrama di putik sunflower, namun pikiranku kacau karena sebelum berangkat kerja aku justru dilanda risau.  Jika orang merawat tanaman hias dan aneka bunga di sore hari untuk refreshing melepaskan penat rutinitas yang mendera, justru perasaanku kian sumpek.
Saat-saat seperti ini aku begitu merindukan seseorang yang menegurku dengan kalimat renyah lemah lembut sepenuh perhatian.
 "Biarlah, Aa yang menyirami tanaman hias dan aneka bunganya, Teh. Segeralah Teteh persiapan berangkat ke sekolah!"
Dan responku, senyum menyungging dari bibirku, lalu berkata tak kalah renyah lembah lembut disertai segenap tatap dari seluruh penjuru mata cinta.
 "Terima kasih, A! Kalo gitu Teteh mandi duluan, ya!"
Kepada seseorang yang senantiasa menghiasi pagi dan sore hari taman dengan ketentraman aku menyerahkan selang penyiram tanaman hias dan aneka bunga semesra menyerahkan sayang penyiram perasaan cemas dan gundah gulana.
Ah, namun itu hanya angan yang kujalin dalam lingkaran impian. Hanyalah ilusi yang menghiasi imajinasi. Hanyalah utopi yang tak bertepi. Hanyalah cita yang tak tergoreskan pada coretan asa.
"Wusss!"
"Allohu Akbar!"
Aku dikagetkan sriti alit yang hanya beberapa senti meliuk di atas kerudung biru yang senada dengan warna seragam batik PNS spesial hari Kamis.
"Astaghfirullah!"
Jarum pendek jam dinding nyaris menyentuh angka 11. Pukul 13.54. Aku belum menunaikan Shalat Zhuhur. Sudah tiga hari aku tidak shalat di awal waktu. Menyia-nyiakan waktu fadhilah. Waktu fadhilah yang tak disia-siakan oleh para shahabat Nabi ShallAllohu 'alaihi wasallam dan ulama-ulama salaf terdahulu.
"Ya Alloh, Gustiii...!"
Kulangkahkan kakiku ke tempat wudhu yang sengaja kubangun khusus di pinggir kanan kolam pavilyunku setelah mendapat rapelan 18 bulan tunjangan profesi.
Kucuran air kran dan bekas wudhuku mengalir ke kolam mungil di mana teratai pavoritku memekarkan bunga ungu.
Photo by Tyler Callahan on Unsplash



About

authorAssalamualaikum, nama saya Syukur A. Mirhan. Sekarang ini saya tinggal di Temboro, tautan sosial media di bawah ini.
Learn More →



QUOTES

“Pada akhirnya Cinta, Bukan kata Adalah” ― Syukur A. Mirhan